Napak Tilas Jejak Sejarah Sunan Pati, Siapakah Beliau Simak Berikut Kisahnya.
Smallest Font
Largest Font
Senin, 2 September 2024, 23:00Wib
Makam Sunan Pati di Desa Metaraman, Margorejo, Pati.
Ada tiga makam yang berada di dalam kompleks bangunan bercat hijau dengan keramik hijau. Bagian bawah nisan makam bercat hitam, bagian atasnya berwarna putih dengan dibungkus kain mori putih pada kedua penanda pusara.
Sunan Pati bernama Ali Nurul Yaqin, putra Abdullah Nurul Yaqin dan cucu Mohammad Nurul Yaqin. Dalam literasi sejarah, Ali Nurul Yaqin dikenal sebagai Sunan Ngerang ketiga, yaitu cucu dari Sunan Ngerang pertama.
Sunan Ngerang ketiga itulah yang melahirkan Ki Ageng Penjawi, tokoh legendaris asal Kadipaten Pati. Dalam sejarah dunia versi Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Penjawi dikenal sebagai pendekar "tiga serangkai" bersama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani.
Setelah Ki Penjawi dewasa dan cukup umur, ia diangkat menjadi penguasa Kadipaten Pati, sebuah tanah merdeka, berdiri sendiri setelah melepaskan diri dari Kerajaan Pajang pimpinan Joko Tingkir,” ungkap Muhammad Nur Hakim, S.H saat berbincang dengan BUSERMEDIAINVESTIGASI.ID Senin, 2 September 2024.
Napak Tilas Makam Sunan Ngerang dan Peran Ki Ageng Penjawi dalam Sejarah Pati
Di kawasan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terdapat sebuah kompleks makam yang menyimpan cerita panjang tentang sejarah dan kebesaran para tokoh agama serta pejuang lokal. Kompleks ini dicat hijau dengan keramik yang juga berwarna hijau, menciptakan suasana tenang dan penuh khidmat. Di dalamnya terdapat tiga makam, yang salah satunya merupakan makam Sunan Ngerang ketiga, seorang tokoh yang berperan penting dalam sejarah penyebaran Islam di daerah Pati dan sekitarnya.
Sunan Ngerang dan Perjalanan Sejarahnya
Sunan Ngerang, yang memiliki nama asli Ali Nurul Yaqin, merupakan tokoh ketiga dalam silsilah Sunan Ngerang. Ia adalah cucu dari Sunan Ngerang pertama, seorang ulama besar yang dikenal karena dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Ayah dari Ali Nurul Yaqin adalah Abdullah Nurul Yaqin, putra dari Mohammad Nurul Yaqin, yang semuanya merupakan bagian dari garis keturunan keluarga besar Sunan Ngerang.
Sunan Ngerang ketiga, Ali Nurul Yaqin, dikenal sebagai sosok yang tegas dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ulama. Keberadaan makamnya di Pati menjadi simbol penghormatan atas jasa-jasanya dalam memperkuat akar Islam di wilayah tersebut. Selain itu, beliau juga dihormati sebagai leluhur dari salah satu tokoh legendaris dalam sejarah Jawa, yakni Ki Ageng Penjawi.
Ki Ageng Penjawi: Pendekar "Tiga Serangkai" dan Penguasa Kadipaten Pati
Ki Ageng Penjawi, yang merupakan keturunan langsung dari Sunan Ngerang ketiga, dikenal sebagai salah satu pendekar besar dalam sejarah Jawa. Bersama dengan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani, ia menjadi bagian dari "tiga serangkai" yang sangat dihormati dalam Babad Tanah Jawi. Ki Ageng Penjawi dikenal karena kemampuannya dalam strategi militer dan keberaniannya dalam berjuang untuk kebebasan.
Seiring bertambahnya usia, Ki Ageng Penjawi akhirnya diangkat sebagai penguasa Kadipaten Pati. Kadipaten Pati pada masa itu merupakan wilayah yang merdeka dan berdiri sendiri setelah berhasil melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Joko Tingkir. Keputusan untuk menjadikan Pati sebagai wilayah merdeka menunjukkan keteguhan Ki Ageng Penjawi dalam memperjuangkan hak-hak daerahnya.
Selain sebagai seorang pemimpin yang cerdas dan berani, Ki Ageng Penjawi juga dihormati karena nilai-nilai spiritual yang diwarisinya dari kakeknya, Sunan Ngerang. Ia dikenal selalu menekankan pentingnya menjaga tradisi, kearifan lokal, dan tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama.
Kompleks Makam sebagai Warisan Sejarah
Kompleks makam yang terdapat di Pati ini bukan hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir para tokoh besar tersebut, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dan spiritual yang panjang. Makam-makam ini dihiasi dengan nisan bercat hitam di bagian bawah dan putih di bagian atas, yang kemudian dibungkus kain mori putih, simbol kesucian dan penghormatan.
Bagi para peziarah dan pecinta sejarah, makam ini tidak hanya menjadi tempat untuk mengenang jasa para leluhur, tetapi juga menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran akan pentingnya menjaga tradisi dan menghormati para pendahulu yang telah berkontribusi besar dalam perkembangan daerah dan agama.
Untuk melengkapi sejarah tentang perpecahan kerajaan Mataram yang melibatkan:
Ki Ageng Penjawi, Amangkurat I, Amangkurat II, Perjanjian Giyanti, Perjanjian Salatiga, serta terpecahnya kerajaan menjadi Solo, Yogyakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Berikut ini adalah penjelasan yang lebih mendalam:
Latar Belakang dan Peran Ki Ageng Penjawi
Ki Ageng Penjawi merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Pajang dan Mataram. Ia dikenal sebagai penguasa Pati yang memiliki pengaruh kuat di wilayah Jawa Tengah. Ki Ageng Penjawi adalah keturunan dari Ki Ageng Ngenis, cucu dari Ki Ageng Selo, yang merupakan leluhur dari Dinasti Mataram.
Sebagai seorang tokoh berpengaruh, Ki Ageng Penjawi memiliki hubungan erat dengan Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang.
Setelah Kesultanan Pajang mulai melemah, kekuasaan berangsur-angsur berpindah ke Kesultanan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senapati, salah satu cucu Ki Ageng Selo, yang juga memiliki hubungan darah dengan Ki Ageng Penjawi.
Masa Pemerintahan Amangkurat I dan II
Amangkurat I (1646-1677) adalah Sultan Mataram yang terkenal dengan pemerintahan otoriternya. Ia berupaya untuk mengonsolidasikan kekuasaan di bawah satu kekuatan sentral, tetapi sering kali menggunakan cara-cara yang keras dan mengabaikan tradisi serta kepentingan bangsawan lokal. Hal ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan rakyat, yang kemudian memicu pemberontakan besar, salah satunya adalah pemberontakan Trunajaya.
Setelah kematian Amangkurat I, putranya, Amangkurat II (1677-1703) naik takhta dan berusaha memulihkan kekuasaan Mataram dengan bantuan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Namun, campur tangan VOC dalam urusan internal Mataram semakin memperlemah kesultanan ini dan menyebabkan ketidakstabilan di wilayah kekuasaannya.
Perjanjian Giyanti (1755)
Perjanjian Giyanti merupakan perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1755 antara VOC dan Kesultanan Mataram, yang secara resmi memecah kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Perjanjian ini menandai berakhirnya perang suksesi antara Pangeran Mangkubumi (kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Pakubuwono III.
VOC, yang memiliki kepentingan untuk mengendalikan Jawa, melihat perpecahan ini sebagai cara untuk melemahkan kekuatan lokal dan mempermudah pengaruh kolonial Belanda di Jawa. Perjanjian Giyanti menjadikan Yogyakarta sebagai kekuatan baru yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I, sedangkan Surakarta tetap di bawah kendali Pakubuwono III.
Perjanjian Salatiga (1757)
Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti, Perjanjian Salatiga ditandatangani pada tahun 1757, yang lebih jauh memecah Kesultanan Mataram dengan membentuk Kadipaten Mangkunegaran di bawah kepemimpinan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said. Mangkunegaran berpusat di Surakarta dan diberi wilayah kekuasaan sendiri, namun tetap berada di bawah pengawasan Kasunanan Surakarta.
Selain itu, Kesultanan Yogyakarta kemudian juga memecah diri dengan berdirinya Kadipaten Pakualaman pada tahun 1813, yang dipimpin oleh Pangeran Notokusumo, saudara dari Sultan Hamengkubuwono II. Pakualaman memiliki otonomi tertentu tetapi tetap berada di bawah Kesultanan Yogyakarta.
Kesimpulan
Perpecahan kerajaan Mataram yang dimulai sejak masa pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II berlanjut dengan Perjanjian Giyanti dan Salatiga, yang secara signifikan mengubah peta politik Jawa Tengah. Dinasti Mataram yang pernah besar akhirnya terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh kolonial Belanda. Warisan Ki Ageng Penjawi sebagai salah satu leluhur raja-raja Mataram tetap diingat dalam sejarah panjang Kesultanan Mataram dan turunannya.
Informasi ini memberikan latar belakang lebih lengkap mengenai perpecahan Mataram dan dampaknya terhadap perkembangan politik di Jawa Tengah. Nara Sumber Pengasuh Majlis Al Realita Pati Jateng / Red.
Demikian Napak Tilas edisi senin malam, 2/09/2024, Nantikan Napak Tilas Sejarah Berikutnya bersama Team Redaksi BUSERMEDIAINVESTIGASI.ID Pada Edisi Berikutnya semoga bermanfaat.
Tonton Cuplikan video bula link berikut :
https://vm.tiktok.com/ZS2Dj1mxW/ Mari Kita Jangan Berhenti Berbuat Baik, Agar Manfaat Sisa Umur ini.