Dewan Pers Gandeng LPSK dan Komnas Perempuan: Perkuat Perlindungan Jurnalis Investigatif dari Teror dan Ancaman
Jakarta — BUSERMEDIAINVESTIGASI.ID
Keamanan jurnalis yang melakukan kerja-kerja peliputan investigatif kembali menjadi sorotan. Dalam menjawab maraknya intimidasi, teror, hingga kekerasan yang kerap dialami wartawan di lapangan, Dewan Pers resmi menjalin kerja sama strategis dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara tiga lembaga tersebut dilaksanakan di Mangkuluhur Artotel Suites, Jakarta Selatan, Selasa (24/6/2025). Acara ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat ekosistem kerja jurnalistik yang aman, khususnya bagi wartawan yang meliput kasus-kasus sensitif seperti korupsi besar, pelanggaran HAM, maupun isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kolaborasi ini bukan sekadar simbolik, tetapi langkah nyata untuk memberikan perlindungan hukum, psikologis, dan keamanan fisik bagi para jurnalis yang rentan menjadi target ancaman.
“Seringkali wartawan investigatif yang membongkar kasus besar mendapat ancaman serius, bahkan ada yang dibunuh tanpa kejelasan hukum. Ini yang harus kita hentikan bersama,” tegas Prof. Komaruddin.
Ia menambahkan bahwa perlindungan jurnalis adalah bagian dari menjaga demokrasi, karena mereka merupakan aktor penting dalam mengawal kebenaran dan kepentingan publik.
Untuk itu, Dewan Pers menggandeng tidak hanya LPSK dan Komnas Perempuan, tetapi juga terus menjalin komunikasi intensif dengan lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, Mahkamah Agung, dan kepolisian.
“Wartawan yang kritis dan independen adalah garda depan demokrasi. Mereka bukan musuh penguasa, tapi mitra strategis dalam membela bangsa,” imbuhnya.
Dalam kerja sama ini, Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada jurnalis perempuan yang sering kali menghadapi bentuk kekerasan berlapis—baik karena profesinya maupun identitas gendernya. Perlindungan psikologis dan dukungan hukum akan disediakan melalui pendekatan berbasis hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
Sementara itu, LPSK menyatakan siap menyediakan skema perlindungan yang komprehensif bagi wartawan yang menjadi korban intimidasi atau kekerasan, termasuk jika mereka menjadi saksi kunci dalam kasus yang sedang diungkap.
“Jurnalis yang bekerja untuk membongkar korupsi atau pelanggaran besar justru layak diberikan perlindungan maksimal, karena mereka memperjuangkan kepentingan publik,” kata perwakilan LPSK yang hadir dalam acara.
Prof. Komaruddin juga mengingatkan pentingnya etika dan profesionalisme, baik dari sisi jurnalis maupun aparat penegak hukum, agar tercipta hubungan kerja yang sehat dan produktif.
“Ketidakharmonisan antara jurnalis dan aparat sering disebabkan oleh miskomunikasi dan ego sektoral. Jika semua pihak memegang teguh etika profesinya, sinergi akan terbentuk dengan sendirinya,” jelasnya.
Melalui kolaborasi ini, Dewan Pers berharap akan terbentuk mekanisme rujukan cepat bagi jurnalis yang mengalami kekerasan, pengawalan hukum, dan pendampingan psikologis, serta sistem pencegahan yang lebih efektif di lapangan.
Sebagai penutup, Prof. Komaruddin menyerukan agar lembaga negara tidak melihat pers sebagai musuh, tetapi sebagai mitra dalam menjaga transparansi, keadilan, dan integritas negara.
“Kalau negara ingin kuat, maka pers harus dilindungi, bukan ditekan,” pungkasnya.
Dengan MoU ini, Dewan Pers, LPSK, dan Komnas Perempuan menegaskan bahwa kebebasan pers adalah hak fundamental yang tidak bisa ditawar.
Ini adalah langkah awal menuju Indonesia yang tidak hanya demokratis, tetapi juga menjamin keamanan dan martabat bagi para penjaga informasi: para jurnalis.
(Ica -Jakarta).