BREAKING NEWS

Hukum Mandul di Jagakarsa: Bos Besar Pil Koplo Raup Omzet Jutaan, Diduga Oknum Polres dan Dinkes Kebagian ‘Uang Rokok

Jakarta Selatan — BUSERMEDIAINVESTIGASI.ID - Praktik jual beli pil koplo atau obat keras daftar G tanpa izin resmi kembali mencuat di wilayah Jakarta Selatan. Di balik warung kelontong sederhana di kawasan Jagakarsa, tersimpan bisnis gelap penjualan obat keras jenis Tramadol dan Hexymer yang dijual bebas tanpa resep dokter. 19/10/2025

Dalam penelusuran tim media, seorang penjaga toko bernama Reja (alias Eksimal) mengaku bisnis ilegal tersebut telah berjalan sekitar dua bulan terakhir. Ia hanya bertugas menjaga toko dengan upah minim.

“Minimal udah dua bulan, Bang. Saya cuma kerja di sini, gajinya satu juta sebulan sama uang makan,” ujar Reja kepada tim media.

Menurut pengakuannya, satu klip Hexymer berisi enam butir dijual Rp7.000, sementara satu lempeng Tramadol dilepas Rp30.000. Omzet toko mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hari, terutama di akhir pekan.

Yang mengejutkan, Reja mengaku aktivitas ini telah diketahui oleh pihak lingkungan setempat bahkan diduga mendapat “perlindungan” dari oknum aparat dan instansi terkait.

 “Dari RT-nya, RW-nya itu tahu,” ucapnya.

“Ada inisial IM dari Polres Jakarta Selatan. Saya sudah kordi bang,” lanjutnya.

Lebih jauh, ia juga menyebut bahwa oknum dari Dinas Kesehatan kerap datang dalam kunjungan rutin dan menerima “uang rokok”.

 “Sebulan sekali datang, pakai baju batik. Dikasih seratus ribu,” tambah Reja.

Ironisnya, Reja mengaku sempat diamankan oleh pihak kepolisian, namun dilepaskan kembali tanpa proses hukum.

 “Pernah ditangkap orang Polsek Jagakarsa, tapi dilepas lagi. Mungkin urusan bos,” tuturnya.

Ia kemudian menyebut nama Damar sebagai sosok pengendali utama jaringan penjualan obat keras di wilayah tersebut.

“Bosnya Bang Damar. Banyak toko lain juga, beda-beda tempat,” jelasnya.

 Payung Hukum yang Dilanggar

Praktik penjualan obat keras tanpa izin jelas melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 196 dan 197, dengan ancaman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.

Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2017 menegaskan bahwa obat keras hanya boleh dijual di apotek dengan resep dokter dan di bawah pengawasan tenaga farmasi.

Jika benar ada keterlibatan oknum aparat, hal itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan tugas utama kepolisian adalah melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum, bukan melindungi pelaku kejahatan.

Keterlibatan tersebut bahkan bisa dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang bertindak demi keuntungan pribadi atau pihak lain.


Lemahnya Pengawasan dan Dugaan “Main Mata”

Kasus ini menggambarkan lemahnya pengawasan serta dugaan kuat adanya “main mata” antara pelaku lapangan, oknum aparat, dan instansi pengawas. Alih-alih diberantas, bisnis obat keras justru terus berkembang di tengah masyarakat, meracuni generasi muda dan mempermalukan wajah penegakan hukum.

Tim media akan terus menelusuri jaringan di balik praktik ilegal ini serta mendorong Polda Metro Jaya, Mabes Polri, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dan BPOM untuk segera turun tangan menindak tegas para pelaku dan oknum yang terlibat.

Tim Redaksi

(Investigasi Khusus – Jakarta Selatan)

Posting Komentar